Hari Rabu, 20 September 2023, Direktur Utama (Dirut) Pertamina Periode 2009 – 2014 Karen Agustiawan resmi ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di Pertamina. Dasar penahanan ini terkait kerja sama impor kepada Perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) Amerika Serikat. Menurut KPK, Karen secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina.
Bertahun-tahun Indonesia merupakan eksportir penting di tingkat kawasan untuk komoditas LNG. Produksi gas nasional juga terus surplus dibandingkan dengan kebutuhan gas domestik serta kewajiban menjalankan kontrak ekspor jangka panjang yang telah disepakati sebelumnya. Kebutuhan energi listrik yang salah satunya digadang-gadang akan dipenuhi dari penggunaan gas, pun sudah oversupply hingga mencapai lebih dari 40 persen di seluruh wilayah di Indonesia. Namun fakta tersebut inkonsisten dan menjadi ironi ketika data neraca migas yang sering dirilis baik oleh kementerian ESDM, Pertamina, atau pejabat terkait lainnya yang menyatakan bahwa Indonesia berpotensi mengalami defisit gas.
Melalui prediksi adanya potensi defisit gas tersebut, Karen yang kala itu sebagai Dirut Pertamina menandatangani kontrak dengan perusahaan CCL Amerika Serikat maupun Perusahaan lain seperti Anadarko di Mozambik.
Terjadinya korupsi impor LNG Pertamina sangat berkaitan dengan tata kelola Minyak dan Gas (Migas) dan energi di Indonesia yang karut marut. Indonesia selalu hanya menghitung keuntungan sesaat tanpa memikirkan keamanan kebutuhan energi di masa depan. Selain itu dugaan kuat lainnya adalah para pejabat terkait sering memanfaatkan jabatan untuk melakukan bisnis yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Hal demikian sebenarnya serupa dengan modus korupsi impor daging sapi pada 2013 silam yang melibatkan Luthfi Hasan Ishak sebagai mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketika tahun 2011 impor daging sapi dibatasi oleh Kemeterian Pertanian dengan dalih swasembada pangan lokal, banyak perusahaan yang tidak mendapat izin untuk mengimpor daging sapi ke Indonesia. Kemudian Luthfi Hasan yang saat itu menjabat sebagai anggota DPR menerima suap dari perusahaan untuk meloloskan izin impor sapi ke Indonesia. Skenarionya adalah membuat dan membawa narasi defisit daging yang dapat digunakan sebagai alasan pembenar untuk membuka keran impor.
Sama halnya dengan korupsi terkait pengadaan impor LNG yang diduga dilakukan oleh ex. Dirut Pertamina, sumber daya dan pemenuhan kebutuhan energi domestik tidak pernah dihitung secara riil, namun pemerintah dalam hal ini BUMN Pertamina dengan mudahnya meloloskan impor dari perusahaan CCL Amerika Serikat. Dampaknya tentu saja selain kerugian negara juga membuktikan bahwa karut-marutnya tata kelola energi di Indonesia disebabkan tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap publik. Hal yang harusnya menyangkut kepentingan publik justru dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan bagi segelintir orang.
Bisnis Kotor LNG dan Kebohongan Kotor Transisi Energi
Tak hanya soal pengelolaan Migas dan energi yang tidak becus, terdapat kebohongan kotor yang ingin ditutupi oleh pemerintah mengenai krisis iklim, transisi energi, dan LNG. Pemerintah mengklaim permasalahan krisis iklim harus segera direspons. Sebagai salah satu cara keluar dari krisis iklim adalah dengan melakukan transisi atau peralihan energi dari energi kotor (batu bara) menuju energi terbarukan (renewable energy). Namun kebijakan yang dilakukan pemerintah justru menggenjot perluasan atau ekspansi LNG, yang diklaim dan dipropagandakan sebagai energi bersih. Padahal LNG merupakan gas fosil yang kandungan utamanya adalah metana (CH4) yang sangat kotor dan bahayanya melebihi dari polusi karbon dioksida (CO2).
Merespons kebijakan tersebut, Don’t Gas Indonesia (DGI), yang merupakan gerakan jejaring-hub nasional yang melakukan kampanye menentang ekspansi bisnis gas alam atau gas fosil baik di hulu hingga hilir, percaya bahwa bisnis gas fosil sama sekali bukanlah jawaban dari krisis iklim dan transisi energi. Sama seperti energi batu bara, energi gas merupakan hasil dari ekstraksi tambang yang kotor dan tidak terbarukan. Gas fosil justru merupakan sumber gas metana (25 kali lebih kuat dari karbon dioksida dalam memerangkap panas di atmosfer) yang berkontribusi pada tingginya emisi gas rumah kaca dan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup milyaran manusia dan lingkungannya di bumi. Bagi DGI, persoalan krisis iklim atau krisis sosio-ekologi harus melibatkan gerakan kewargaan yang terdidik (ordinary people movement) dan demokratik, bukan cuma urusan segelintir kelompok, apalagi elit penguasa dan korporasi yang kerap berbohong serta tidak serius memberi solusi.
DGI juga menilai, klaim pemerintah dan korporasi migas yang mengatakan bahwa LNG merupakan energi transisi yang bersih dan ramah lingkungan merupakan kebohongan besar yang sangat menyesatkan. Diksi “Transisi Energi” hanyalah alat propaganda yang digunakan penguasa berwatak oligarkis untuk bisa terus melakukan ekspansi dan eksploitasi tak hanya sumber daya alam tapi juga manusia dan lingkungan. Proyek pembukaan ladang-ladang gas baru dan terminal gas yang sedang digembar-gemborkan oleh pemerintah dalam perjalanannya telah menimbulkan dampak berbahaya yang sangat serius. Namun, rakyat dipaksa untuk menyetujuinya atas nama proyek strategis nasional atau atas nama kepentingan pembangunan, padahal dalam praktiknya hanya untuk kepentingan keuntungan investor dan kroni oligarkinya di pemerintah.
Contoh terbaru dari dampak bahaya lingkungan terjadi di proyek Floating Storage and Regasification Unit (FRSU) dan PLTGU Jawa I Power di Cilamaya, Karawang. Regasifikasi akan menyebabkan penurunan air laut dan menyebabkan perbedaan suhu dengan air laut sebesar 7 derajat. Dengan perbedaan suhu tersebut dapat menyebabkan terumbu karang dan juga jenis ikan lainnya akan punah. Selain itu, PLTGU Cilamaya setiap jam membutuhkan 5.274 ton air laut dan akan mengeluarkan 3.800 ton/jam limbah, yang dibuang langsung ke laut. Hal demikian tentunya akan membuat kerusakan lingkungan dan biota laut yang sangat massif dan sistemik. Dampaknya nelayan menjadi kesulitan mencari ikan dan adanya potensi krisis air bersih untuk masyarakat sekitar.
Limbah PLTGU juga memiliki beberapa zat kimia yang berdampak kepada kesehatan. (1) Bromine (Br) yang dapat mengakibatkan iritasi kulit dan luka bakar, (2) Tembaga (Cu) dapat menyebabkan pusing, mual, muntah, kram perut, dan diaere, (3) Klorin (CI) yang jika jangka panjang masuk kedalam tubuh dapat menyebabkan alergi hingga cacat lahir, (4) Kromium (Cr) yang meningkatkan risiko kanker perut, penyakit kulit, kerusakan ginjal, dan hati, dan (5) Cadmium (Cd) menurunkan kepadatan dan komposisi tulang, serta penyakit ginjal. Belum lagi potensi risiko terkait terjadinya ledakan besar karena LNG mengandung 90% metana yang mudah terbakar. Dampak-dampak tersebutlah yang akan dirasakan masyarakat atas bisnis gas kotor yang dibalut propaganda transisi energi. Sebab gas fosil sendiri merupakan bagian dari masalah krisis iklim, bukan jawaban.
Melihat potensi korupsi dari bisnis kotor dari LNG dan dampak lingkungannya yang sangat berbahaya serta kerugian besar terhadap negara, masyarakat dan lingkungan hidup yang ditimbulkan, maka Don’t Gas Indonesia menuntut:
- Hentikan ekspansi dan praktik bisnis kotor gas fosil di Indonesia;
- Audit ulang kontrak (MoU) seluruh proyek-proyek gas yang sedang dan akan berjalan di Indonesia, dalam rangka menemukan potensi korupsi, penyalahgunaan wewenang dan mencegah kerugian negara yang semakin dalam akibat praktik-praktik KKN yang sudah sistemik dan meluas terjadi pada BUMN Pemerintah, terutama di Pertamina dan SKK Migas;
- Stop membiayai dan membangun proyek-proyek pembukaan ladang gas baru di seluruh Indonesia;
- Pulihkan kerusakan sosial-ekologis yang telah diakibatkan oleh bencana industri (industrial disaster) dari proyek-proyek lapangan gas seperti di Blok Brantas Porong Sidoarjo, di Aceh, di Riau, dan berbagai tempat lainnya di Indonesia;
- Batalkan rencana proyek FSRU (terminal regasifikasi apung) di perairan Sidakarya, Bali Selatan karena berpotensi merusak bentang alam dan ekosistem pesisir dan laut di Bali, dan akan merugikan nelayan lokal, bisnis pariwisata serta citra pariwisata Bali yang berbasis pada keharmonisan Tri Hita Karana;
- Pemerintah pusat agar membatasi secara ketat investasi ekonomi dan industri yang kontradiktif dan tidak konsisten dengan kewajiban pemerintah dalam mengatasi dan memenuhi mandat internasional dalam mengatasi krisis iklim, atau yang bersifat “Climate Hypocrisy” (Kemunafikan Iklim). Salah satu contoh dari climate hypocrisy adalah kebijakan transisi/peralihan energi dengan menghentikan penggunaan energi batu bara, tapi malah menggantinya dengan energi gas fosil, yang sama-sama kotor dan berkontribusi besar dalam kenaikan suhu bumi.
Demikian tuntutan Don’t Gas Indonesia disampaikan dalam rilis media ini untuk kemudian menjadi informasi publik dan ditujukan kepada pihak-pihak terkait, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.